Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses
penyesuaian nilai-nilai
yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang
menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan
sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Kata Konflik berasal dari kata
conflict yang berarti saling benturan, arti kata ini menunjuk pada semua bentuk
benturan, tabrakan, ketidakserasian, ketidaksesuaian, pertentangan,
perkelahian, interaksi antagonis (Kartini Kartono, 1991:213) konflik semacam
ini yang negatif. Konflik yang positif bisa diartikan : pometasi, berlomba,
fastabihul khoirot/berlomba dalam kebaikan. Pada dasarnya teori konflik
berasumsi bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk berkompetisi, bersaing,
berlomba, berbeda dengan orang lain.
Berdasarkan manfaatnya
konflik dapat dikelompokkan ke dalam konflik fungsional dan konflik
disfungsional (Gibson, 1996). Menurutnya bahwa konflik fungsional adalah
konfrontasi diantara kelompok yang menambah keuntungan kerja. Konflik
disfungsional adalah konfrontasi atau pertentangan antar kelompok yang merusak,
merugikan, dan menghalangi pencapaian tujuan organisasi. Sehubungan dengan itu
setiap organisasi harus mampu menangani dan mengelolan serta mengurangi konflik
agar memberikan dampak positif dan meningkatkan prestasi, karena konflik
yang tidak dikelola dengan baik dapat menurunkan prestasi dan kinerja
organisasi.
·
Asumsi Dasar
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural
fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar
dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori
konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori
struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang
masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara
panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas
pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.
Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaumborjuis melakukan
eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan
selama kesadaran semu eksis (false
consiousness) dalam diri proletar,
yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong
terbentuknya gerakan sosial besar,
yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum
proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]
beberapa asumsi
dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural
fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik
melihat pertikaian dan konflik dalam sistem
sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan
selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti
pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori
konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga
membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda
ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi
dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar
terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional
mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada
titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena
adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat
mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga
terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan
“paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena
adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya
dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi
serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis
A. Coser dan Ralf
Dahrendorf.
· Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser
Sejarah Awal
Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap
terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur
sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut
selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial.
Berbeda dengan beberapa ahli sosiologiyang menegaskan eksistensi dua
perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser
mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan
tersebut.
Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer
sering mengacuhkan analisa konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai
penyakit bagi kelompok sosial.
Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial
positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu.
Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George
Simmel.
Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan
teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena
sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu
teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature
(sesuatu yang sia- sia). Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat
sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau
Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja
untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep
sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan. Penjelasan tentang teori knflik Simmel
sebagai berikut:
§ Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak
mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai
gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan,
namun dapat dibedakan dalam analisa.[4]
§ Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser
mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam
menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur
sosial dan bila
terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.[4]
Inti Pemikiran
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental
dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat
memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke
dalam dunia sosial sekelilingnya.
fungsi positif
konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang
mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum
tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili
Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal
mengenai masalah pentahbisan wanita).
Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah
memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Coser melihat katup
penyelamat berfungsi
sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-
hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah
salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok
dari kemungkinan konflik sosial. [5] Katup
penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan
rasa tidak puas atas sebuah sistem atau
struktur.
Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia
kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari
situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
|
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Konflik Realistis,
berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam
hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang
ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang
mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
2.
Konflik Non-
Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang
antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari
salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan
dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain.
Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambing hitaman sebagai
pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat
dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi.
Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa
berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada
suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau.
Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya,
tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi
ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
|
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan-
hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan
non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa,
semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah
tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang
mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti
misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi
dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan
membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan
tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga
menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.
Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta
konflik sepasang kekasih.
|
Coser mengutip
hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu
kelompok. Dia menjelaskan bukti
yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa
peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi
dengan masyarakat secara keseluruhan.
Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut
dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil
konflik in-group merupakan indikator adanya suatu
hubungan yang sehat. Coser
sangat menentang para ahli sosiologi yang
selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan
peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak
pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan
kestabilan suatu hubungan.
Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf
Sejarah Awal
Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian
konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser, seorang ahli sosiologi Jerman bernama
Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang
sebelumnya berbahasa Jerman agar
lebih mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang
tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). Dahrendorf tidak menggunakan teori
Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh
penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. Seperti
halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori
parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai
untuk menganalisa fenomena sosial.
Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan
sisi kerja sama.
Inti Pemikiran
Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan,
separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan
dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama.
Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga
bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk
penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di
masyarakat industri semenjak
abad kesembilan belas. Diantaranya:
§ Dekomposisi modal
Menurut
Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang
banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari
dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga.
§ Dekomposisi Tenaga
kerja
Di abad
spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang
mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau
beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena
zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat
menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan
baik.
§ Timbulnya kelas menengah baru
Pada
akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di
mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di
bawah.
Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah
ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian dimodifikasi oleh
berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan
bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi
pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf
hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan
unsur bagi kelahiran kelas.
Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka
yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi
secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu,
mereka yang berkuasa dan yang dikuasai.
Dalam analisanya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan
kelompok mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan
mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan
kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan
kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan
ancaman bagi ideologi ini
serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.
Contoh: Kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an
kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompok- kelompok kulit
hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos.
Kelompok wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak
oleh kekuasan di sebagian besar struktur sosial di mana mereka
berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita
untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki- laki.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar